pionnews.com – Aksi pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KKB) kembali mencoreng wajah toleransi Indonesia. Kali ini, tindakan represif dan brutal terjadi di Kota Padang, Sumatera Barat, tepatnya di rumah doa jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugrah Padang, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, pada Minggu (27/7/2025).
Sekelompok orang membubarkan paksa ibadah umat Kristen Protestan yang tengah berlangsung di rumah doa tersebut. Tidak hanya pembubaran, kekerasan fisik dan perusakan properti juga terjadi.
Berdasarkan video dan laporan dari berbagai media, tampak pagar rumah dibongkar, kaca jendela pecah, meja dan kursi dirusak, serta atribut ibadah diobrak-abrik. Peristiwa ini mendapat reaksi keras dari Generasi Muda Pembaharu Indonesia (GEMPAR). Ketua GEMPAR Sulut, Ovel Mait, menyatakan bahwa tindakan tersebut bukan sekadar intoleransi, melainkan pelanggaran hukum serius dan pengkhianatan terhadap konstitusi.
“Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum tak boleh permisif. Ini bukan sekadar “kesalahpahaman “. Ini kekerasan yang disengaja, dilakukan secara kolektif, dan bertujuan mengintimidasi kelompok minoritas, “tegas Mait.
Senada, Ketua Korwil GEMPAR Sulawesi, Marth Billy Kumaseh, menilai pembiaran negara terhadap aksi-aksi intoleran selama ini telah memberi ‘angin segar’ bagi kelompok ekstremis.
“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mengevaluasi Menteri Agama dan Wakil Menteri Agama yang pasif terhadap eskalasi intoleransi ini. Diamnya mereka bisa diartikan sebagai bentuk pembiaran struktural, ” tegas Kumaseh.
GEMPAR Indonesia mencatat bahwa sejak awal pemerintahan Prabowo – Gibran pada Oktober 2024 hingga Juli 2025, telah terjadi sedikitnya 16 insiden intoleransi berbasis agama.
Ini mencakup: Penolakan pendirian rumah ibadah di Bekasi, Cilegon, dan Cirebon.
Pembubaran ibadah di Padang, Bogor, dan Bandung
Pelarangan perayaan Natal di Cibinong (Desember 2024)
Teror bom terhadap gereja di Medan dan Semarang
Ancaman massa saat kebaktian di rumah-rumah ibadah sementara di Banyuwangi dan Tangerang
Dalam banyak kasus, aparat justru bersikap netral semu, memfasilitasi “mediasi” yang merugikan kelompok korban, dan abai menindak pelaku kekerasan.
“Kasus di Cibinong adalah contoh gamblang, bagaimana aparat keamanan lebih memilih meredam gejolak dengan membatalkan ibadah Natal,ketimbang melindungi hak konstitusional warga,” jelasnya.
Menurut catatan lembaga SETARA Instite dan Wahid Foundation, hingga 2023, lebih dari 60 persen gereja di wilayah-wilayah mayoritas non-Kristen harus menggunakan rumah pribadi atau rumah kontrakan sebagai tempat ibadah karena terhambat izin pendirian rumah ibadah permanen.
Padahal, secara hukum, UU No. 1/PNPS/1965, Pasal 29 UUD 1945, dan SKB 2 Menteri 2006 menjamin kebebasan beragama.Namun ironisnya, kelompok warga, ormas keagamaan, dan FKUB lokal sering dijadikan alat “veto” untuk menggagalkan proses izin gereja dengan alasan tidak memenuhi dukungan warga mayoritas.
“Di Padang Sarai, jemaat GKSI sudah beribadah di rumah doa itu selama 2 tahun terakhir tanpa mengganggu lingkungan sekitar. Tak pernah ada laporan warga soal kebisingan atau pelanggaran,” ungkap Mait.
Pembina GEMPAR Sulut, Stevy Mait, menyatakan bahwa Presiden Prabowo memiliki komitmen terhadap konstitusi dan nilai-nilai Pancasila. Namun, komitmen itu tidak diikuti oleh jajaran kementerian, khususnya Kementrian Agama.
“Kami menilai Menteri dan Wakil Menteri Agama gagal membaca situasi dan gagal menerjemahkan amanat Presiden ke dalam kebijakan yang proaktif. Mereka terlalu diam saat intoleransi makin liar,” ujar Stevy.
GEMPAR juga menyoroti peran Kementrian Dalam Negeri, BPIP, dan FKUB yang harus dievaluasi serius agar tidak justru menjadi alat pelanggeng eksklusivisme keagamaan.
GEMPAR Indonesia menyerukan:
1. Evaluasi dan rotasi pejabat Kemenag yang dinilai gagal menangani persoalan KBB.
2. Proses hukum tegas terhadap pelaku intoleransi di Padang Sarai.
3. Reformasi fungsi FKUB agar kembali netral dan bukan perpanjangan suara mayoritas.
4. Penerbitan Perpres tentang Perlindungan Rumah Ibadah Sementara bagi kelompok minoritas.
5. Perhatian khusus Presiden terhadap pemulihan korban dan rehabilitasi tempat ibadah yang dirusak.
Generasi Muda Pembaharu Indonesia (GEMPAR) adalah ormas nasional yang menaungi gerakan pemuda Kristen dan Katolik sejak 2014. GEMPAR memiliki jaringan aktif di 28 provinsi serta di dua negara diaspora.
DPP GEMPAR dipimpin oleh Yohanes Harry Sirait dan Petrus Sihombing, dengan Dewan Penasehat dipimpin Pdt. Jason Balompapueng, serta Dewan Pembina oleh Hashim Djojohadikusumo.
Tinggalkan Balasan