pionnews.com – Tangis seorang siswi SMK Negeri 1 Manado pecah saat dijemput ayahnya di depan Kantor Pegadaian Cabang Manado Timur, Paal 2, Rabu sore (22/10/2025). Wajahnya pucat, matanya sembab. Tak lama kemudian, sang ayah mengetahui putrinya baru saja dibentak dan dipermalukan oleh kepala cabang tempatnya magang.
Korban, Trinithy (17), merupakan peserta Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang tengah menimba pengalaman di lembaga keuangan milik negara itu. Namun, yang seharusnya menjadi kesempatan belajar justru berujung trauma.
Menurut kesaksian sang ayah, ia melihat langsung bagaimana atasannya memarahi anaknya di depan sejumlah karyawan.
“Saya datang menjemput, malah lihat anak saya dibentak di depan orang banyak. Anak saya cuma bisa menunduk dan menangis. Hati orang tua mana yang tidak hancur?,”katanya menahan emosi.
“Kalau pun marah, jangan di depan umum. Itu bukan pembinaan, itu mempermalukan. Saya titip anak untuk belajar, bukan dipermalukan,”
Menurut Trinithy, alasan kemarahan atasannya sebenarnya sepele, karena laporan harian belum diselesaikan.
“Harusnya dibina atau dilaporkan ke pihal sekolah, bukan dibentak sambil ditunjuk – tunjuk di depan pegawai lain, seolah – olah anak saya ini bawahannya,” tambahnya.
Usai kejadian, ayah korban mendatangi kepala cabang untuk meminta penjelasan. Namun, jawaban yang diterima tidak memuaskan.
“Sebagai orang tua, kami tidak keberatan kalau anak dinasihati untuk membentuk karakter dan tanggung jawab ke depan. Tapi bukan begitu caranya, apalagi dia seorang pimpinan cabang,” tegasnya.
Merasa anaknya mengalami tekanan mental, keluarga pun melaporkan peristiwa tersebut ke Polresta Manado. Kasus ini kini diselidiki sebagai dugaan kekerasan psikis terhadap anak.
Secara hukum, tindakan membentak atau mempermalukan anak di depan umum dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 76C menyebut:
“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.”
Dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (1):
“Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.”
Selain itu, Permendikbud Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan (PKL) juga mewajibkan dunia usaha dan industri (DUDI) untuk menjamin keselamatan, keamanan, serta kenyamanan siswa selama menjalani magang.
Tindakan membentak siswa magang di depan umum bukan hanya pelanggaran etika profesional, tapi juga mencerminkan lemahnya kepemimpinan dalam lingkungan kerja yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran.
“Pemimpin yang baik membimbing bukan mengintimidasi. Apalagi terhadap anak yang masih sekolah,” kata seorang pemerhati pendidikan di manado.
Pihak keluarga berharap laporan ke kepolisian ini diproses secara adil dan menjadi pelajaran bagi setiap lembaga penerima siswa magang agar menjunjung tinggi etika serta kemanusiaan.
“Kami tidak menuntut lebih. Kami hanya ingin ada keadilan, dan jangan sampai anak lai. Mengalami hal yang sama,” tutup sang ayah.
“Saya titip anak untuk belajar, bukan dipermalukan,” Ayah korban.
Di balik peristiwa ini tersimpan ironi tentang dunia kerja yang kerap lupa pada akarnya, pendidikan. Di saat sekolah berusaha menyiapkan generasi muda yang tangguh dan beretika, justru sebagian lembaga tempat mereka belajar memperlihatkan wajah kuasa yang kaku.
Pegadaian, sebagai institusi besar yang berdiri di atas kepercayaan publik, semestinya menjadi contoh bukan menambah luka pada mereka yang baru belajar memahami arti tanggung jawab.



Tinggalkan Balasan