Laporan: Redaksi pionnews
Pagi baru saja menyapa kawasan Tuminting, Manado. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, sementara suara sapuan sapu lidi mulai mengisi jalanan yang lengang.
Di tengah para petugas kebersihan yang tengah sibuk menyapu dan mengangkat sampah, seorang pria berseragam cokelat muda tiba-tiba menghampiri.
Ia bukan lewat, bukan juga sedang meninjau. Ia berhenti, menyapa, bahkan ikut mengangkat tumpukan sampah dari got yang mampet.
Itulah Hence Patimbano, Camat Tuminting.
Bagi warga dan para petugas kebersihan, ini bukanlah pemandangan baru. Sudah menjadi kebiasaannya untuk hadir langsung di lapangan, menyapa petugas kebersihan, bahkan ikut membantu.
Ia datang bukan untuk mengawasi, melainkan hadir sebagai bagian dari mereka. Sebagai rekan kerja.
“Kalau mereka bisa kerja sebelum matahari terbit, kenapa saya tidak? Saya cuma ingin mereka tahu, bahwa kerja mereka penting dan dihargai,” ujarnya suatu pagi.
Di tengah rutinitas birokrasi yang sering kali kaku dan berjarak, sosok Hence menjadi pengecualian. Ia tak sekadar hadir di balik meja kantor. Ia turun langsung ke jalan, ke got, ke lapangan-lapangan yang sering kali luput dari sorotan.
Baginya, menjadi pemimpin bukan soal perintah, melainkan teladan.
“Bekerja dengan hati, dan memanusiakan semua yang ada di sekitar kita,” begitu prinsip yang selalu ia pegang.
Bukan hanya soal hadir secara fisik, bentuk penghargaan yang paling dirasakan para petugas adalah saat hari Jumat tiba.
Setiap pagi di hari itu, ia selalu menyisikan waktu untuk sarapan bersama.
Tak ada protokoler, tak ada pembatas.
“Pak Camat sering tanya kabar, dengar keluhan kami. Bahkan kadang ikut bantu cari solusi. Kami merasa punya pemimpin yang benar-benar peduli,” kata seorang petugas kebersihan di Kelurahan Tumumpa.
Sarapan atau ngopi bukan sekadar makan bersama. Di situlah berbagai keluhan disampaikan, ide-ide dibahas, dan hubungan kerja diperkuat.
Obrolan ringan seputar keluarga, kesehatan, hingga masalah teknis di lapangan dibicarakan dengan terbuka.
Hence mendengar, mencatat, dan bergerak mencari jalan keluar.
“Dari situ saya tahu siapa yang sedang sakit, siapa anaknya butuh bantuan sekolah, atau siapa yang sepeda motornya rusak. Semua penting untuk saya tahu, karena mereka bagian dari tim yang membuat Tuminting bersih setiap hari.
”Di ruang kerjanya, tak banyak penghargaan yang dipajang. Tapi ada satu benda yang mencolok: sepatu boot karet dan rompi oranye.
“Ini simbol bahwa saya harus siap kapan saja ke lapangan,” ujarnya sambil tersenyum.
Bagi Hence, penghargaan bukan datang dari piagam atau gelar, tapi dari kepercayaan dan rasa hormat anak buah.
Ia tidak pernah merasa lebih tinggi dari petugas kebersihan. Justru menurutnya, dari mereka ia belajar banyak hal—tentang keikhlasan, kerja keras, dan ketulusan dalam melayani.
“Pemimpin itu bukan dilihat dari seberapa tinggi posisinya, tapi seberapa rendah hati dia terhadap orang-orang yang membantunya setiap hari,” tegasnya.
Hence Patimbano sadar bahwa jabatan adalah hal yang sementara. Tapi ia ingin warisan kepemimpinannya menjadi sesuatu yang melekat, penghargaan terhadap yang kecil, dan keteladanan yang nyata.
Di tengah iklim birokrasi yang cenderung formal dan berjarak, kisahnya adalah cermin bahwa seorang camat bisa hadir sebagai pemimpin yang menyentuh, bukan hanya memerintah.
Dan dari para petugas kebersihan yang ia rangkul dengan hati, Hence Patimbano mengajarkan pada kita satu hal penting: bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang bagaimana kita menghargai orang lain, bahkan dari pinggir jalan yang paling sunyi sekalipun.
Tinggalkan Balasan